Thursday, March 26, 2009

Menikmati Kimono dan Norimaki



Coffee morning UNWG kali ini mendapat kesempatan untuk mengambil tempat di Pusat Kebudayaan Jepang. Lokasinya mudah dijangkau karena berada di dalam Villa Borghese (Via Antonio Gramsci 74), salah satu paru-paru kota Roma. Acara dimulai dengan pembukaan dan selamat datang oleh tuan rumah, Sachiko Nomura, yang dilanjutkan dengan sambutan dari Presiden UNWG Janet Chang. Selain mengucapkan terima kasih kepada tuan rumah, Janet juga menghimbau para angota untuk mengisi posisi Board (pengurus), mengingat dalam waktu dekat akan ada pergantian formasi Board UNWG.

Acara kali ini diisi oleh Presiden International Women’s House (Casa Internazionale delle Donne) Constanza Fanelli. Beliau memperkenalkan sekilas mengenai organisasinya yang bergerak di bidang wanita, antara lain tujuannya adalah memberikan tempat yang nyaman bagi para wanita, memberikan perlindungan untuk perempuan yang menjadi korban kekerasan, bantuan kesehatan dan berbagai macam aktivitas kewanitaan. Untuk lebih detilnya mengenai Casa delle Donne ini, bisa langsung dilihat di situs resminya www.casainternazionaledelledonne.org. Sayangnya sebagian besar isinya dimuat dalam bahasa Italia, meskipun ada beberapa bagian yang sudah termuat dalam bahasa Inggris.

Selain Constanza Fanelli, Direktur Pusat Kebudayaan Jepang, Mr. Kazufumi Takada, menjelaskan sekilas tentang institut yang berdiri sejak tahun 1962 ini. Visi dan misi utamanya tidak lain adalah membantu mempromosikan kebudayaan Jepang, baik tradisional maupun modern. Kegiatan yang digelar umumnya berupa pameran lukisan, pemutaran film, robot exhibitions serta menyediakan perpustakaan untuk buku-buku Jepang. Masih menyangkut budaya Jepang, kita juga disuguhi video advertisement tentang Jepang selama kurang lebih 7 menit yang berisi tentang perpaduan Jepang tradisional dan modern. Perayaan-perayaan tradisional, makanan khas, restoran, shopping center, pakaian khas, kecanggihan teknologi berupa gadget terkini dan robot-robotnya. Intinya adalah semua informasi yang “menggoda” kita untuk berkunjung ke Jepang.

Acara utama hari itu adalah peragaan kimono, dengan dibantu oleh seorang penata kimono professional dan seorang model yang kebetulan juga putri dari anggota UNWG, Takako Fujinami. Disini kita diperkenalkan dengan serba-serbi kimono, mulai dari undergarment kimono, jubah, obi (ikat pinggang), kaos kaki dan sandal. Kimono yang diperagakan adalah kimono khusus untuk pengantin, jadi sedikit unik. Secara umum ada beberapa hal menarik tentang pemakaian kimono antara lain: kaos kaki harus dipakai terlebih dahulu, karena setelah pakaian terpakai akan sulit untuk menunduk. Untuk jubah (kimono luar) ada aturan pada lengannya yang menjuntai, pada wanita dewasa yang sudah menikah, juntaiannya pendek, sedangkan yang belum menikah panjang, bahkan pada pengantin dapat sepanjang mungkin. Kemudian kerah kimono dalam harus terlihat dari luar, sementara leher kimono luar bagian belakang (dibawah tengkuk) harus sedikit ditarik kebawah, sehingga rambut harus diangkat keatas (disanggul) atau dipotong pendek sekalian. Jubah ini tidak memiliki ukuran, sehingga bisa kita sesuaikan dengan tinggi badan masing-masing pemakainya, apabila kurang pendek tinggal ditarik pada bagian pingang dan diikat dengan tali.

Pemakaian obi merupakan bagian paling sulit karena obi ini sangat panjang. Pada pengantin, bagian ujung belakang dari obi dibentuk menjadi pita yang cukup rumit. Kemudian (lagi-lagi) khusus pada pengantin di bagian luar obi, masih diikat lagi dengan sehelai pita putih untuk menyelipkan semacam bunga yang ternyata berisi: PISAU. Ternyata ini merupakan simbol tradisi jaman dahulu, dimana ketika pengantin dibekali pisau dengan tujuan apabila ingin bunuh diri. Pelengkap selanjutnya adalah sandal Jepang. Kimono ini biasanya digunakan pada perayaan adat tradisional saja, biasanya anak gadis yang berumur 20 tahun (dianggap dewasa) diberikan kimono, namun menurut Sachiko, mengingat set kimono lengkap kurang lebih berharga €7000, maka tren dikalangan remaja Jepang saat ini adalah meminta tur ke Eropa sebagai ganti hadiah kimono, karena harganya kurang lebih sama.

Setelah berfoto ria dengan model kimono, acara selanjutnya adalah menikmati makanan yang tersedia. Ada berbagai jenis makanan kecil dari Indonesia, Bangladesh dan tentunya yang paling ditunggu adalah dari tuan rumah, Jepang. Sajian utamanya adalah Norimaki. Awalnya yang kita tahu hanya Sushi, namun setelah ditanyakan pada empunya, ternyata ada beberapa jenis Sushi. Pertama adalah Sushi sendiri, merujuk kepada segumpal nasi jepang (sedikit lebih lengket seperti campuran beras dengan ketan) dengan ikan atau udah mentah diatasnya. Kedua adalah Maki, merujuk pada beras yang digulung dengan diberi isi (seperti roti gulung), bisa dibuat seperti lontong kemudian dipotong kecil-kecil atau dibuat gulungan kecil dengan cetakan. Apabila dibungkus dengan nori maka disebut norimaki, karena ada juga yang dibungkus dengan sesame (wijen). Terakhir adalah Sashimi, merujuk kepada ikan atau udang mentah yang dimakan langsung dengan kecap asin atau wasabi. Ikan atau udang bisa menyesuaikan, bisa mentah bisa juga yang sudah diolah (diasap). Sayuran isi juga bisa dimodifikasi sesuai selera.

Untuk mengakhiri acara, kita diajak berkeliling taman khas Jepang yang terletak di halaman belakang. Sebuah replika taman Jepang yang mewakili bentuk kebanyakan taman Jepang tradisional. Cukup menarik, meskipun tanpa bunga sakura. Setelah selesai mengelilingi taman dengan penjelasan dari salah seorang staf, kita langsung diarahkan ke pintu keluar.